Masalah pornografi dalam seni dan desain sudah sering dibahas dalam berbagai mass media maupun di internet, demikian juga yang berkaitan dengan undang-undang pornografi. Masalah ini sudah ada sejak lama, misalnya tentang ajaran seks Kamasutra dari India sekitar 400 SM, Serat Chentini (Jawa), Assikalabineng (Bugis) dan masalah seksualitas itu selalu ada sampai "kini".
Di luar masalah seksualitas,
karya seni visual (seni rupa) umumnya ditafsirkan dalam beberapa bentuk sintaksis
visual seperti (1) struktur bentuk, (2) sudut pandang pengamatan
visual, (3) komposisi atau organisasi titik, garis,bentuk, tekstur dsb, (4)
pokok soal (subject matter), (5) pesan yang ingin disampaikan dan cara pesan
dibaca (encode-decode), (6) atau karya itu sama sekali tidak bermakna, (7)
makna imaji visual, umumnya adalah akibat sistem kognisi, pembelajaran dan
budaya (George Legrady, 2014)
Karya seni dalam Teks
Cara membahas karya seni dalam bentuk teks
misalnya kita lihat dalam E.B. Feldman (1969), disebut kritik seni, membagi
kritik seni itu atas kritik popular, kritik pedagogik, kritik akademik dan
kritik jurnalistik. Umumnya karya seni visual dibahas dalam rangka
mendeskripsikan karya seni (visual) ke bahasa (verbal), melalui tahap pemaparan
seperti (1) deskriptif, (2) analisa struktur, (3) interpretasi dan (4)
evaluasi. Kajian Felman ini sebenarnya masih relevan dengan analisis
imaji-imaji karya seni di masa kini.
Dalam teori persepsi,
pengolahan dan pemaparan visual model Feldman ini disebut "top down
processing", dimana karya seni visual ditanggapi berdasarkan
pengetahuan sebelumnya. Sedangkan "bottom up processing" adalah
pengolahan dan tanggapan terhadap imaji tidak berdasarkan pengetahuan, tetapi
murni dari apa yang dilihat.Tetapi yang kedua ini tidak bisa tunggal, sebab
selalu saja ada pengetahuan, walaupun pengetahuan itu bukan tentang seni.
Artinya baik "bottom up" maupun "top down" itu selalu berpasangan.
Kritik populer atau persepsi orang awan, seperti yang diuraikan Feldman,
sebenarnya berlangsung dalam proses persepsi seperti ini. Orang awam juga
memiliki pengetahuan, tetapi bukan pengetahuan tentang seni.
Catatan: Persepsi merupakan tahap kognitif
dimana manusia menyadari sensasi yang disebabkan oleh stimulus dan interpretasi
informasi dari pengalaman atau pengetahuannya (Groover, 2007). Proses persepsi
terdiri dari dua tahap, yaitu deteksi dan rekognisi. Deteksi terjadi pada saat
manusia menyadari adanya stimulus (bottom up processing), rekognisi
terjadi ketika manusia menginterpretasikan arti dari stimulus tersebut serta
mengidentifikasinya dengan pengalaman/pengetahuan sebelumnya (top down processing). Stimulus
yang diterima oleh indera tubuh manusia kemudian diteruskan menjadi persepsi.
Evaluasi umumnya
streotipe, yaitu hanya berdasarkan kognisi atau pengetahuan yang dimiliki.
Seorang ahli biologi dan seorang ahli sastra, atau seorang dokter misalnya,
dihadapkan kepada objek yang sama, persepsinya akan berbeda, hal ini
dipengaruhi oleh persepsi "top down processing", yaitu apa yang
sering dilihatnya berkali-kali (pengetahuan, data ingatan). Strategi yang
dipakai dunia periklanan juga berdasarkan prinsip persepsi ini, misalnya di TV
setiap 15 menit ditampilkan iklan yang sama. Berdasarkan teori persepsi ini
dapat dijelaskan, bahwa besarnya kecurigaan seorang istri terhadap suaminya
akan berselingkuh, bisa akibat seringnya dia menonton "sinetron
Indonesia" tentang perselingkuhan di TV.
Masalah pornografi jelas terkait dengan
evaluasi, yaitu tahap akhir dari pemaparan karya seni versi Feldman. Dalam hal
ini Felman, juga membahas pokok soal seni seperti ungkapan seksualitas,
cinta dan perkawinan (sex, love and marriage). Ungkapan atau ekspresi
tentang seksualitas itu dalam kenyataannya ada dalam seni dan tidak tabu.
Tetapi tergantung cara pengungkapannya dan cara memahaminya sehingga dapat atau
tidak disebut berbau pornografi. Biasanya ungkapan-ungkapan seperti cinta,
seksualitas dan perkawinan ini dalam seni tentu tidak vulgar sebab diungkapkan
dalam bentuk semi abstrak, abstrak-simbolis. Diprediksi visualisasi seksualitas
yang konkret tentu akan cendrung vulgar dan terkait dengan pornografi.
Secara etimologis, pornografi berasal dari
dua kata Yunani, porneia yang berarti seksualitas yang tidak
bermoral dan kata grafe (grafis) yang berarti tulisan dan atau
gambar. Jadi secara etimologis pornografi adalah tindakan seksual tidak
bermoral. Pornografi umumnya dapat berupa gambar, tulisan, video, atau apapun
yang mengekspos masalah seksualitas, di Indonesia sendiri hal itu dapat berupa
penampilan sesorang yang merangsang dengan pakaian minim atau gerakan-gerakan
yang merangsang.