Rabu, 10 Desember 2014

Pornografi Dalam Seni dan Desain (Sexual Image and Selling Sex)


Masalah pornografi dalam seni dan desain sudah sering dibahas dalam berbagai mass media maupun di internet, demikian juga yang berkaitan dengan undang-undang pornografi. Masalah ini sudah ada sejak lama, misalnya tentang ajaran seks Kamasutra dari India sekitar 400 SM, Serat Chentini (Jawa), Assikalabineng (Bugis) dan masalah seksualitas itu selalu ada sampai "kini".
Di luar masalah seksualitas, karya seni visual (seni rupa) umumnya ditafsirkan dalam beberapa bentuk sintaksis visual seperti (1) struktur bentuk, (2) sudut pandang pengamatan visual, (3) komposisi atau organisasi titik, garis,bentuk, tekstur dsb, (4) pokok soal (subject matter), (5) pesan yang ingin disampaikan dan cara pesan dibaca (encode-decode), (6) atau karya itu sama sekali tidak bermakna, (7) makna imaji visual, umumnya adalah akibat sistem kognisi, pembelajaran dan budaya (George Legrady, 2014)
Karya seni dalam Teks
Cara membahas karya seni dalam bentuk teks misalnya kita lihat dalam E.B. Feldman (1969), disebut kritik seni, membagi kritik seni itu atas kritik popular, kritik pedagogik, kritik akademik dan kritik jurnalistik. Umumnya karya seni visual dibahas dalam rangka mendeskripsikan karya seni (visual) ke bahasa (verbal), melalui tahap pemaparan seperti (1) deskriptif, (2) analisa struktur, (3) interpretasi dan (4) evaluasi. Kajian Felman ini sebenarnya masih relevan dengan analisis imaji-imaji karya seni di masa kini.

Dalam teori persepsi, pengolahan dan pemaparan visual model Feldman ini disebut "top down processing", dimana  karya seni visual ditanggapi berdasarkan pengetahuan sebelumnya. Sedangkan "bottom up processing" adalah pengolahan dan tanggapan terhadap imaji tidak berdasarkan pengetahuan, tetapi murni dari apa yang dilihat.Tetapi yang kedua ini tidak bisa tunggal, sebab selalu saja ada pengetahuan, walaupun pengetahuan itu bukan tentang seni. Artinya baik "bottom up" maupun "top down" itu selalu berpasangan. Kritik populer atau persepsi orang awan, seperti yang diuraikan Feldman, sebenarnya berlangsung dalam proses persepsi seperti ini. Orang awam juga memiliki pengetahuan, tetapi bukan pengetahuan tentang seni.
Catatan: Persepsi merupakan tahap kognitif dimana manusia menyadari sensasi yang disebabkan oleh stimulus dan interpretasi informasi dari pengalaman atau pengetahuannya (Groover, 2007). Proses persepsi terdiri dari dua tahap, yaitu deteksi dan rekognisi. Deteksi terjadi pada saat manusia menyadari adanya stimulus (bottom up processing), rekognisi terjadi ketika manusia menginterpretasikan arti dari stimulus tersebut serta mengidentifikasinya dengan pengalaman/pengetahuan sebelumnya (top down processing). Stimulus yang diterima oleh indera tubuh manusia kemudian diteruskan menjadi persepsi.
Evaluasi umumnya streotipe, yaitu hanya berdasarkan kognisi atau pengetahuan yang dimiliki. Seorang ahli biologi dan seorang ahli sastra, atau seorang dokter misalnya, dihadapkan kepada objek yang sama, persepsinya akan berbeda, hal ini dipengaruhi oleh persepsi "top down processing", yaitu apa yang sering dilihatnya berkali-kali (pengetahuan, data ingatan). Strategi yang dipakai dunia periklanan juga berdasarkan prinsip persepsi ini, misalnya di TV setiap 15 menit ditampilkan iklan yang sama. Berdasarkan teori persepsi ini dapat dijelaskan, bahwa besarnya kecurigaan seorang istri terhadap suaminya akan berselingkuh, bisa akibat seringnya dia menonton "sinetron Indonesia" tentang perselingkuhan di TV.
Masalah pornografi jelas terkait dengan evaluasi, yaitu tahap akhir dari pemaparan karya seni versi Feldman. Dalam hal ini Felman, juga membahas pokok soal  seni seperti ungkapan seksualitas, cinta dan perkawinan (sex, love and marriage). Ungkapan atau ekspresi tentang seksualitas itu dalam kenyataannya ada dalam seni dan tidak tabu. Tetapi tergantung cara pengungkapannya dan cara memahaminya sehingga dapat atau tidak disebut berbau pornografi. Biasanya ungkapan-ungkapan seperti cinta, seksualitas dan perkawinan ini dalam seni tentu tidak vulgar sebab diungkapkan dalam bentuk semi abstrak, abstrak-simbolis. Diprediksi visualisasi seksualitas yang konkret tentu akan cendrung vulgar dan terkait dengan pornografi.


Secara etimologis, pornografi berasal dari dua kata Yunani, porneia yang berarti seksualitas yang tidak bermoral dan kata grafe (grafis) yang berarti tulisan dan atau gambar. Jadi secara etimologis pornografi adalah tindakan seksual tidak bermoral. Pornografi umumnya dapat berupa gambar, tulisan, video, atau apapun yang mengekspos masalah seksualitas, di Indonesia sendiri hal itu dapat berupa penampilan sesorang yang merangsang dengan pakaian minim atau gerakan-gerakan yang merangsang.